Beberapa orang yang turut dalam aksi di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada 24 Desember lalu, memberi kesaksian tentang kronologi aksi yang berakhir dengan penembakan oleh aparat. Warga beberapa desa di Bima menyebutkan kericuhan dimulai oleh provokasi polisi. Meski massa telah menyerahkan senjata, polisi terus mendesak ke arah massa.
Warga Desa Roto, Ikang Fauzi, mengatakan, pagi hari saat aksi hendak berlangsung, polisi berada di depan gerbang Pelabuhan Lambu. Menurut Kepala Polresta Bima Ajun Komisaris Besar Polisi Kumbul K.S., ia memanggil salah satu warga yang bernama Hasanuddin untuk berbicara di depan gerbang. Hasanuddin adalah koordinator lapangan utama di Pelabuhan Sape.
“Dia minta masyarakat menyerahkan senjata,” kata Ikang. Permintaan Kumbul ini tak diiyakan oleh Hasanuddin. Hasanuddin yang melihat ratusan polisi berjaga meminta jaminan bahwa polisi tak akan melakukan penembakan terhadap warga. Menurut Ikang, Kapolresta memberikan jaminan.
Setelah itu, pintu gerbang pun dibuka oleh Syahbuddin alias Om Budi, seorang warga yang turut dalam aksi. Sejumlah polisi wanita lantas masuk ke areal pelabuhan dan mengamankan para wanita dengan cara merangkul dan memeluk mereka. Namun, belakangan, sejumlah pasukan pengendalian massa (dalmas) dengan tameng dan pentungan rotan merangsek ke dalam pelabuhan.
Pasukan dalmas itu diikuti oleh pasukan Brigade Mobil yang menggunakan senjata tajam dan sebuah mobil water cannon. Terjepit, Hasanuddin sempat melakukan upaya negosiasi dengan polisi. “Hasanuddin sempat bilang mereka meminta waktu untuk berembuk dengan warga soal kesepakatan malam tadi,” ujarnya.
Pada malam sebelum bentrokan, koordinator lapangan dari Front Rakyat Anti Tambang, Ridho, mengatakan sempat terjadi pertemuan antara Kepala Polda NTB Brigadir Jenderal Arif Wahyudani dan perwakilan sejumlah warga. Pertemuan dipimpin Hasanuddin.
Kapolda meminta warga membubarkan diri dengan jaminan surat kesepakatan bahwa Kapolda, Muhammad Farouk, dan Hj Najib akan mengawal pencabutan Surat Keputusan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen nomor 188.45/347/004/2010 yang diprotes warga. “Pertemuannya kira-kira pukul 22.00 di dekat pelabuhan, sebelah rumah makan Arema,” ujar Ikang.
Tapi Hasanuddin tak mengiyakan kesepakatan ini. Hasanuddin yang kini ditahan polisi meminta waktu kepada Kapolda untuk berembuk kepada warganya keesokan harinya. Sebab, sebagian besar warga sudah pulang dan mereka tidak bisa memutuskan sendiri. Kapolda pun memberikan kesempatan kepada Hasanuddin untuk berkonsultasi.
Pemuda Lambu, Muhdar ,mengatakan upaya Hasanuddin itu tak membuahkan hasil. Kepala Polserta Kumbul malah memerintahkan anak buahnya maju sepuluh langkah menuju arah dermaga. Kumbul juga meminta masyarakat menyerahkan senjata yang mereka pegang.
“Sebagian memang kita serahkan, tapi ada yang tidak menyerahkan sebagian kecil,” ujarnya. Kumbul kemudian memerintahkan pasukannya maju kembali tiga langkah. “Sampai kami merapat ke tembok dermaga dan jarak antara kami dan pasukan kira-kira tiga sampai lima meter saja."
Keadaan mulai memanas ketika tombak seorang warga diambil paksa oleh seorang anggota intel. Aksi lanjutannya adalah penyergapan Syahbuddin oleh petugas intel. Anshari alias Owen yang mencoba menenangkan warga dengan naik ke atas kendaraan yang mengangkut alat pengeras suara pun ikut diseret oleh polisi.
“Terakhir Hasanuddin yang ditangkap intel,” ujarnya. Kumbul pun memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan senjata. “Semua warga bubar kocar-kacir, ada yang lari ke dalam ruang tunggu, ada yang lari ke luar gerbang, ada juga yang lari ke laut."
0 Comments:
Posting Komentar