Sate adalah makanan khas Indonesia - di negara lain juga ada makanan serupa tapi dengan nama berbeda - yang digemari banyak orang, salah satunya Presiden AS Barack Obama. Tapi di antara sekian banyak penggemar sate, pasti sedikit sekali yang tahu tentang seluk beluk tusuk sate. Padahal perajin tusuk sate bisa berpenghasilan puluhan juta rupiah per bulan.
Di negeri ini, jumlah orang yang sukses berjualan sate sudah barang tentu melebihi hitungan jari. Karenanya bisnis kuliner macam-macam sate terus dilirik banyak orang. Kesuksesan para kampiun sate itulah yang membuat Hadi Santoso mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi ribuan warga Kota Batu, Jawa Timur. Yakni dengan industri tusuk sate (bahasa Jawa: sujen).
Sujen atau tusuk sate memang terlihat remeh, namun sejatinya bisnis di bidang itu tak dapat dipandang sebelah mata. Seperti yang diungkapkan Hadi, selain mampu merekrut ribuan tenaga kerja, bisnis yang baru 1,5 tahun lalu dia tekuni itu juga mampu mendatangkan penghasilan puluhan juta rupiah per bulan.
Di tempat tinggalnya yang sekarang, Dusun Glonggong, Kelurahan Temas, Kecamatan Batu, Hadi bahkan baru memulai bisnis tersebut sekitar pertengahan tahun lalu. Namun, hari demi hari, semakin banyak warga Batu yang mendatangi rumah Hadi untuk bergabung dalam usaha itu. Kini, sedikitnya 9 ribu kepala keluarga telah bergabung dengan usaha tusuk sate Hadi.
Maklum, untuk bekerja dengan Hadi, tidak perlu modal. Yang dibutuhkan hanya kerelaan waktu dan tenaga. Peralatan maupun bahan baku bisa didapatkan dari pria yang sudah mencoba berbagai macam jenis usaha ini. Mulai berdagang sayur, buah, bertani, berdagang kayu, bibit kayu, hingga jadi pengusaha keramik.
Setiap hari, rumah Hadi selalu banyak didatangi orang. Silih berganti warga mendatangi rumah Hadi. Ada yang datang mengambil bayaran, ada juga yang mau bergabung menjadi perajin tusuk sate. “Masih sangat banyak yang butuh pekerjaan. Dan saya senang bisa membantu mereka,” kata Hadi.
Bergabung menjadi anggota perajin tusuk sate yang dirintis Hadi memang tergolong unik. Warga yang membutuhkan pekerjaan dapat dengan mudah mendapatkan penghasilan. Tidak perlu biaya. Bahkan untuk mendapatkan peralatan pemilah tusuk sate senilai Rp 80 ribu itu, warga juga tidak perlu membayar. Semua bahan baku bisa didapatkan dari Hadi. Sedangkan hasilnya juga akan dibeli. Praktis, yang dibutuhkan hanya keseriusan untuk mendapatkan pekerjaan.
Menjadi perajin tusuk sate hanya perlu pernyataan keseriusan. Begitu ada pernyataan keseriusan, tidak berselang lama peralatan pun akan segera dikirim. Tentunya dengan jaminan peralatan tersebut tidak dijual serta hasil pembuatan tusuk sate itu dijual kembali kepada Hadi. “Silakan saja dijual ke orang lain. Tapi, tidak ada jaminan bakal berlangsung lama,” ujar ketua P4KB (Perlindungan Perhubungan Pedagangan Pasar Pagi Kota Batu) ini.
Saking mudahnya, kurang dari tiga bulan, Hadi sudah membagikan 9 ribu peralatan yang didatangkan dari Jerman. Saat ini, peralatan tersebut banyak tersebar ke Kecamatan Batu. Untuk kecamatan ini, ada 6 ribu peralatan. Sisanya menyebar di Kecamatan Junrejo dan Bumiaji.
Dalam seminggu, ribuan peralatan yang dibagikan itu bisa menghasilkan sekitar 4 ton tusuk sate, yang harga jualnya Rp 3 ribu per kilogram. Dengan demikian, dalam seminggu usaha tusuk sate Hadi bisa menghasilkan omzet sebesar Rp 12 juta atau sekitar Rp 48 juta per bulan. “Ini masih permulaan karena sebagian besar perajin lainnya juga masih dalam tahap pembelajaran,” kata bapak lima anak ini.
Bagi para perajin, pendapatan yang diperoleh juga cukup lumayan. Perajin yang menghabiskan satu batang bambu akan dapat upah bersih Rp 60 ribu. Rata-rata, dalam seminggu seorang perajin bisa menghabiskan 3 sampai 4 batang pohon bambu. Dengan demikian, penghasilan yang didapatkan berkisar antara Rp 180 ribu sampai Rp 240 ribu per minggu.
Usaha tusuk sate yang digeluti Hadi sebenarnya hanya pengembangan dari usaha yang digeluti sebelumnya. Sebelum mengembangkan tusuk sate di Batu, pria yang menyandang status sarjana ekonomi Universitas Islam Malang (Unisma) itu sudah melakukannya di Kecamatan Tumpang. Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di wilayah Tumpang, Hadi sudah memiliki seribu perajin tusuk sate.
Modal yang dikeluarkan Hadi memang juga tidak sedikit. Awal membuka usaha itu, dia menghabiskan dana Rp 100 juta. Tetapi, modal usaha itu bisa segera kembali setelah beberapa kali pengiriman barang.
Meski saat ini sudah banyak yang bergabung dengan usahanya, Hadi masih merasa belum puas. Dia berharap semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan peluang tersebut. Apalagi, pria yang sehari-harinya juga berdagang daging ayam ini mengetahui masih banyak masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Setia dengan Handmade
Kesuksesan Hadi Santoso dan ribuan keluarga di Batu dalam berbisnis tusuk sate memang ditunjang dengan teknologi alat. Mesin pembuat tusuk sate memang sudah banyak digunakan orang, namun di Desa/Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang juga merupakan sentra industri tusuk sate, hingga kini masyarakat setempat masih tetap setia membuatnya dengan tangan (handmade).
Seperti yang dilakukan Diana (25), warga RT 3 RW 5 Kampung Bojongkoneng, Desa Kutawaringin, yang menggantungkan hidupnya dari usaha pembuatan tusuk sate. Diana memotong-motong sebilah bambu berukuran panjang 20 cm. Kemudian dia belah tipis-tipis seukuran tusuk sate yang biasa kita temui. Semuanya tanpa bantuan mesin.
Selanjutnya, masih tanpa bantuan mesin, tusuk sate yang sudah jadi itu dia bersihkan. “Harus dicuci biar tusuk satenya bersih,” ujar Diana, ditemui di rumahnya.
Ia mulai mengerjakan pembuatan tusuk sate sejak dua tahun silam. Saban hari, ia biasa menghasilkan 500 tusuk sate. Kemudian tusuk sate itu dijualnya kepada pengumpul. “Saya membeli bambu dari bandar. Harganya seratus ribu untuk empat ikat, satu ikatnya ada tiga bilah bambu,” ujarnya.
Sebilah bambu yang panjangnya sekitar 2-3 meter, bisa menghasilkan hingga dua ribu tusuk sate. “Itu bisa dikerjakan dalam waktu tiga sampai empat hari, tergantung cuaca. Soalnya, sebelum dijual kan harus dijemur dulu selama dua hari agar tusuk sate benar-benar kering,” kata Diana.
Untuk membuat tusuk sate, ia harus memilih bambu minimal berusia enam bulan. Semakin tua umur bambu, jumlah tusuk sate yang dihasilkan bisa semakin banyak. “Kalau umur bambunya sudah tua, daging bambunya tebal, jadi tusuk satenya bisa makin banyak,” ujar Diana, sambil tekun membelah bambu.
Salah seorang pedagang tusuk sate. Atang (45) mengatakan, Desa Kutawaringin memiliki potensi besar untuk menghasilkan tusuk sate. “Dalam sehari, saya bisa mengumpulkan 3.000 tusuk sate hanya dari Desa Kutawaringin,” ujar Atang, sambil menyebutkan beberapa kampung yang merupakan sentra pembuatan tusuk sate di Desa Kutawaringin. Kampung tersebut misalnya Ciherang, Pasirkeas, Bojongkoneng, dan Cigondok.
Selain dijual di Pasaranyar Kecamatan Kutawaringin, Atang mengaku, biasa menjual tusuk sate tersebut ke Pasar Sayati dan Pasar Caringin. “Permintaan selalu ada, soalnya kan hampir semua orang suka makan sate. Tapi kemampuan warga hanya segini, jadi ya saya hanya bisa menjual segitu,” kata Atang.
Untuk itu, Diana berharap agar warga bisa mendapatkan bantuan modal sehingga mampu mengembangkan usaha kecil seperti yang dilakukannya. “Modal tidak ada. Tusuk sate yang saya buat pun hanya mendatangkan keuntungan sekitar seratus sampai dua ratus ribu rupiah sebulan, mana bisa untuk mengembangkan usaha,” kata Diana
sumber:
www.surabayapost.co.id
Browse: Home > Rezeki Melimpah dari Tusuk Sate
0 Comments:
Posting Komentar